Jangan Menghakimi

Oleh : RD dalam Warta 191210
Jangan kamu menghakimi supaya kamu tidak dihakimi
(Mat 7:1)

Barangkali kalimat yang saya kutib dari injil Matius diatas sudah sangat familiar bagi orang Kristen kebanyakan. Saking familiarnya – amat disayangkan – tidak banyak orang Kristen yang mencoba untuk mempelajarinya lebih dalam, atau – setidaknya – berusaha untuk melihatnya melalui sudut pandang yang berbeda. Ini disebabkan oleh kebiasaan berfikir kita yang seringkali menganggap bahwa “kebenaran” adalah “kebenaran” yang senantiasa tetap, tidak berubah, kaku, dan kekal. Kekekalan hanya ada pada Tuhan, sedangkan manusia adalah fana (tidak kekal). Masalahnya bukan ada pada “kebenaran Firman” yang kita yakini sebagai kekal, tapi justru terletak pada “pemahaman kita” terhadap Firman, yang – kalau mau kita akui – sangat terbatas dan tidak kekal. Dalam konteks inilah ayat diatas sengaja saya kutib. Kisah berikut ini semoga menginspirasi.

Suatu hari ada seorang pemuda sedang berbincang santai dengan saudaranya yang lebih tua. Si saudara berkata “Ada tertulis, jangan kamu menghakimi supaya kamu tidak dihakimi. Maka dari itu, jangan sekali-kali kamu berfikir kelak ingin menjadi hakim ya, jadi pengacara atau notaris aja ok?” pemuda itu – oleh keterbatasan pemahamannya – dengan lugu meng-amini nasehat atau tafsiran tersebut sebagai kebenaran (pemahaman yang di kemudian hari ditertawakan sendiri olehnya). Beberapa tahun berlalu Firman yang sama memberikan pemahaman yang berbeda (baru) bagi pemuda yang mulai beranjak dewasa itu. “Jangan menghakimi” bukan lagi dipahami supaya jangan berprofesi sebagai hakim, namun lebih kompleks, yakni bahwa kita jangan melihat setiap persoalan dengan cara pandang hitam-putih,     benar-salah, atau dosa-tidak dosa. Realitas kehidupan manusia memang jauh lebih rumit dari sekedar dosa-tidak dosa. Dosakah seorang ibu yang terpaksa mencuri roti untuk anaknya yang hampir mati kelaparan? Cara pandang hitam-putih justru berpotensi mengabaikan fakta adanya warna abu-abu, kuning, hijau, merah dan sebagainya, khususnya dalam konteks perbedaan tafsir terhadap Firman Tuhan. Pemahaman seperti ini dengan segera membawa sukacita yang luar biasa bagi pemuda itu, karena merasa telah mengalami apa yang oleh pak pendeta disebut sebagai “metanoia.”

Seiring berjalannya waktu, dalam pergumulannya, pemuda itu sadar bahwa pemahamannya tentang “Jangan menghakimi” ternyata sangat terbatas. Sekali lagi metanoia dialami pemuda itu melalui beberapa pertanyaan di benaknya: Mengapa seorang pelacur rela memberikan seluruh penghasilannya untuk memberi makan seorang gelandangan? Mengapa seorang PUNK sangat mengasihi dan menghormati istrinya, sedangkan seorang pendeta justru berselingkuh dan seorang sarjana teologi tega memperkosa lalu membunuh kekasihnya? Beberapa pertanyaan ini menyadarkan pemuda itu bahwa pada dasarnya manusia melihat rupa, sedangkan Tuhan melihat yang tersembunyi (Mat 6: 4, 6, 18). Manusia melihat apa yang tampak mata, kemudian berasumsi, maka pada saat itulah ‘penghakiman’ yang paling orisinil terjadi. “Saat aku melihat seorang PUNK, pada saat itulah aku membelenggunya dengan asumsi dan prasangka, dia pasti kasar, dia pasti kejam, liar dan sebagainya. Begitu pula saat aku melihat pelacur, aku langsung menganggapnya tidak bermoral dan biadab. Namun ketika aku melihat seorang pendeta atau sarjana teologi, aku pun menghakiminya sebagai baik, taat Firman Tuhan, setia, lemah lembut, sabar dan ternyata aku salah. Sungguh terbatas pengetahuanku ya Tuhan...ampuni aku yang selama ini tanpa sadar selalu menghakimi sesamaku” demikian kata pemuda itu.

Ada tertulis “Jangan menghakimi”, ternyata mampu menghasilkan pemahaman yang berbeda pada tiap-tiap orang, juga berbeda pada tiap waktu sebagaimana sang pemuda telah mengalami beberapa kali “metanoia”, yang mendorong dia merevisi pemahamannya akan “kebenaran” Firman Tuhan. Pertanyaannya, adakah Tuhan mempersalahkan kita karena keterbatasan (pemahaman) yang ada pada kita? Lalu, berapa kali atau sampai kapan “metanoia” akan terjadi pada kita? Hal ini untuk kita renungkan ....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.