Kawanan Kecil - Keluarga

 Oleh : RT dalam Warta 150810

“Tetapi carilah Kerajaan-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu. Janganlah takut, hai kamu kawanan kecil! Karena Bapamu telah berkenan memberikan kamu Kerajaan itu”.
Lukas 12 : 31 – 32. (Matius 5-7)

Kenapa Kawanan Kecil ? Hal ini menunjuk kepada Komunitas pertama di dunia ini, komunitas kecil yaitu : Bapa, Anak & Roh Kudus. Manusia diciptakan dalam gambar ini (Baiklah kita menciptakan manusia menurut gambar dan rupa kita. . . Kejadian 1: 26), manusia diciptakan dalam sebuah komunitas. Lewat manusia, Tuhan mau supaya komunitas-Nya ada di bumi ini. Lewat Keluarga, waktu Tuhan ciptakan Adam maka Tuhan berkata tidak baik kalau manusia seorang diri saja. Ini berarti manusia harus hidup dalam komunitas, kalau seorang diri saja maka sangat berbahaya. 
Baca Amsal 18:1 “Orang yang menyendiri, mencari keinginannya, amarahnya meledak terhadap setiap pertimbangan”. Manusia yang seorang diri saja akan berorientasi pada keinginannya sendiri, sentralnya / programnya pada diri sendiri bukan pada kehendak Tuhan. Dunia sedang dalam keegoisan yang semakin tinggi. Manusia perlu komunitas, mulailah dengan Keluarga.

Model gereja terbaik adalah keluarga. Tuhan telah memulihkan pemahaman Pembapaan generasi & mentor karena Tuhan kembalikan gereja pada prinsip yang utama, yaitu : bergerak secara kekeluargaan. Paulus berkata kepada Timotius, kalau aku terlambat datang kepadamu, sudahlah engkau tahu bagaimana cara orang harus hidup? Cara orang hidup adalah mereka harus hidup sebagai keluarga Allah (I Timotius 3:14-16).
Paulus katakan : Inilah rahasia hidup ibadah kita, bahwa hidup secara keluarga itulah tiang penopang & dasar kebenaran. Dimana gaya hidup keluarga kita ciptakan maka yang muncul di dalamnya adalah kebenaran & menjadi pusat kebenaran dari kehidupan. Atmosfir keluarga penting untuk kita kembangkan sebagai esensi kehidupan keluarga, dimana kita menemukan semua orang berarti,  inilah keluarga. Inilah Kerajaan-Nya !

Membangun atmosfir keluarga akan memberikan perubahan dalam kehidupan kita secara alamiah, tanpa terpaksa dan justru akan dikerjakan dengan penuh tanggung jawab. Bahkan saat kita mengerjakannya akan menghasilkan kelegaan, kepuasan, dan sukacita; mengingat kebersamaan keluarga tersebut.  

Menjadi Keluarga itu berarti :

1.Merubah “Me” menjadi “We”, dari Saya menjadi Kami, bukankah awal kekristenan dimulai dari penyangkalan diri / memikul salib dll. Saat kita merasa menjadi bagian dari keluarga maka dengan sendirian kita akan pola hidup kita, dari hanya memikirkan diri sendiri menjadi memikirkan kebersamaan.

2.Menemukan dan mengupayakan potensi berkembang serta menjadi kebanggaan bersama. Setiap anggota keluarga akan mencoba mengenali masing-masing anggotanya, menemukan, mengupayakan supaya nyata, teraktualsasikan dan pada saat tersebut maka semua anggota keluarga akan bangga.
Mari kita menjadi bagian keluarga. Jangan takut, hai kawanan kecil ! (rt)

Dibalik Kebisuan Selalu Ada Makna Yang Mendalam

 Oleh : ISK dalam Warta 080810

Tetapi bertanyalah kepada binatang, maka engkau akan diberinya pengajaran, kepada
burung di udara, maka engkau akan diberinya keterangan.Atau bertuturlah kepada bumi,
maka engkau akan diberinya pengajaran, bahkan ikan di laut akan bercerita kepadamu.
(Amsal 12:7-8)


Apa yang terpikirkan saat Anda mengetahui segala sesuatu yang terjadi disekeliling Anda? Apa yang Anda pikirkan saat melihat masalah narkoba, pelacuran, perdagangan manusia (human trafficking), moral, dan yang lainnya? Apakah saat melihatnya dengan serta merta Anda menghujat? Berkomentar ini dan itu? Tidak menghiraukan segala sesuatu yang sedang terjadi? Atau malah ingin melakukan perubahan tapi tidak tahu harus bertindak bagaimana dan mulai dari mana?


Seringkali kita malah berubah menjadi “pakar-pakar” dadakan, menjadi “hakim-hakim” yang mulia, serta orang-orang “suci” yang tak tercela – reaksi yang memang dianggap sebagai sebuah normalitas dalam budaya masyarakat gossip/ pop.
Lingkungan kita yang sedang kritis membutuhkan lebih dari sekedar aksi sok pintar dan teriak-teriak ala jalanan kita. Mereka membutuhkan sebuah pemahaman yang utuh atas diri mereka sebagai masyarakat yang dipenuhi banyak elemen lengkap dengan semua problematikanya. Dan lebih dari itu, masyarakat kita membutuhkan sesuatu yang produktif, yang berarti mampu mendatangkan kebaikan bersama. Bukankah ini sebuah panggilan nurani yang nyata – yang sebenarnya sudah mulai menggoda siapa saja yang bersentuhan dengan realita – dan sedang membutuhkan sentuhan terbaik untuk mulai dimainkan perannya?

Sesungguhnya ada begitu banyak suara dan makna yang bisa kita jumpai dan coba untuk pahami jika sejenak saja kita mau menjadi “pendengar” dan “perasa” yang baik. Sesungguhnya kita jugalah aktor dari lancar tidaknya akses kepada sebuah jalan solusi yang bijak, yang meskipun terkadang tidak seperti apa yang dibayangkan dan dipertentangkan.


Kita sebagai sebuah bagian elemen dari sesuatu yang lebih besar memiliki tugas – dan lebih dari itu, tanggung jawab dan panggilan – untuk melakukan dan menghasilkan apa yang baik terhadap hal-hal tidak baik yang sedang terjadi. Kelangsungan sebuah masyarakat ditentukan oleh diri masyrakat itu sendiri. Mulailah dari menjadi “pendengar” dan “perasa” yang baik untuk kemudian menjadi “pemikir” dan “pelaksana” yang baik untuk menghasilkan apa yang baik untuk seluruh masyarakat bersama, yang akhirnya juga mendatangkan kebaikan bagi kita. Gbu (ISK)

Ikhlas

Oleh : YFH dalam Warta 010810

"Tidak ada gunanya kami memberi jawab kepada tuanku dalam hal ini. Jika Allah kami yang kami puja sanggup melepaskan kami, maka Ia akan melepaskan kami dari perapian yang menyala-nyala itu, dan dari dalam tanganmu, ya raja; tetapi seandainya tidak, hendaklah tuanku mengetahui, ya raja, bahwa kami tidak akan memuja dewa tuanku, dan tidak akan menyembah patung emas yang tuanku dirikan itu."

Ada kerelaan untuk menerima apapun yang Tuhan berikan dalam hidup mereka, sekalipun itu berarti kematian. Situasi boleh berubah menjadi buruk dan tidak menguntungkan, tetapi mereka memilih tetap tulus dan bersih hatinya dihadapan Tuhan.

Konsep ikhlas juga terdapat di dalam Perjanjian Baru. 
Lukas 9:23 menulis:
"Kata-Nya kepada mereka semua: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku."


Ada dimensi ikhlas di sini. Ikhlas untuk menyangkal diri dan memikul salib. Kedua hal itu bukan pekerjaan yang memberi rasa enak bagi badan kita. Bayangan yang muncul dari kata memikul salib adalah rasa berat yang harus ditanggung. Apalagi di ayat tersebut ditegaskan bahwa orang yang mau mengikut Yesus harus melakukan ini setiap hari!

Di lain sisi, keikhlasan bukanlah berarti tanpa berusaha. Pengikut Kristus tetap perlu bekerja untuk menyatakan kasihNya dalam dunia. Bedanya, orang yang ikhlas menyerahkan hasil kerja kepada sang Pencipta. Apapun yang terjadi dia tetap bersyukur.

Tulisan ini saya tutup dengan kutipan dari seorang tokoh nasional Indonesia yang memfokuskan diri dalam bidang spiritual. Dia bilang: “Berbeda dengan pikiran yang serakah memilih sukses di atas gagal, benar di atas salah, baik di atas buruk; keikhlasan, ia tidak saja tidak memilih, bahasanya hanya satu: semuanya sudah, sedang, dan akan berjalan sempurna!”

Biarlah kita semua mau belajar untuk menjadi pribadi-pribadi yang ikhlas.
Amin. GBU.

- YFH -